إن
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله يا أيها الذين آمنوا
اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
يا
أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما
رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان
عليكم رقيبا
يا
أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا . يصلح لكم أعمالكم ويغفر
لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما
أما بعد :
Tulisan ini adalah sebuah risalah fiqhiyyah an-nazilah
(fiqh kontenporer) seputar imunisasi yang menjadi polemik besar di
kalangan ahli ilmu yang sebenarnya bukan kemampuan kami untuk
menguraikannya. Akan tetapi berawal dari permintaan salah satu ikhwan
kepada kami di mana didaerahnya terjadi sikap “kolot” terhadap masalah
khilafiyah khususnya dalam masalah ini maka kami mencoba dengan segala
kekerdilan kami untuk menggoreskan tinta ini dengan sikap tathofful bil ulama’(bimbingan ulama’)
Karena
pembahasan ini ada sangkut pautnya dengan kedokteran maka kami berusaha
untuk mengumpulkan komentar-komentar ahli medis baik yang pro maupun
kontra untuk memudahkan tashowwur (gambaran) riil yang ada, karena diantara kaidah fatwa adalah :
الحكم على الشئ فرع عن تصوره
“ hukum sesuatu adalah cabang dari gambaran terhadap sesuatu tersebut”
Tulisan ini kami bagi menjadi beberapa bab
1. Moqoddimah
2. Definisi Imunisasi
3. Macam-macam imunisasi
4. Hukum asal imunisasi
5. Praktek imunisasi modern
6. Beberapa argumen/alasan bagi orang yang kontra dan anti dengan imunisasi
7. Perantara menuju jawaban
8. Tarjih dan analisa
9. Fatwa para ulama tentang imunisasi
10. Kesimpulan dan penutup
Yang perlu di sebutkan juga di sini bahwa masalah in adalah masalah fiqhiyyah ijtihadiyah yang tidak menjadikan sesat orang yang menyelisihinya[2],
dan apa yang saya tulis ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya
untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik dari segi ilmu medis
maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas
Dan
kami nasehatkan agar janganlah kita meresahkan masyarakat dengan
membuat keraguan kepada mereka karena ini termasuk masalah-masalah umat
apalagi telah keluar fatwa MUI tentangnya[3]
Dan
kami memohon tulisan ini bermanfaat khususnya pada pribadi kami dan
para pembaca yang budiman dan menjadi tambahan berat dalam mizan hari
akhirat. Amiin
1. Moqoddimah
Perkembangan
zaman dengan segala realitas kehidupan yang ada di dalamnya telah
memunculkan berbagai persoalan baru yang memerlukan respon keagamaan
yang tepat dan argumentatif. Banyak masalah-masalah baru yang tidak ada
sebelumnya. Sekarang membutuhkan fatwa khusus
Permasalahannya
tidaklah serumit ini jika seandainya permasalahan-permasalahan baru
tersebut di pegang oleh ahli islam yang amanah. Hanya saja yang
disayangkan kebanyakan bahkan hampir seluruh permasaahan baru tersebut
di pegang oleh orang-orang kafir atau orang-orang zindiq yang tidak
perduli lagi tentang halal & harom –kita mengadu kepada alloh atas
segala kehinaan dan kekalahan kaum muslimin dalam segala bidangnya-
Oleh
karena itu seringkali muncul permasalahan dan pertanyaan di kalangan
kaum muslimin di berbagai tempat yang tentunya membutuhkan jawaban yang
benar sesuai dengan hukum islam itu sendiri
Di
antara permasalahan itu yang menjadi polemik dan kontroversi adalah
masalah yang akan kita bahas ini yaitu imunisasi yang di informasikan
mengandung unsur-unsur harom seperti adanya enzim babi untuk pembuatan
imunisasi polio, padahal di waktu yang sama pemberian imunisasi di zaman
kita ini sangat di perlukan. Hal itu di sebabkan konsumsi-konsumsi manusia
saat ini yang hampir tidak lepas dari bahan-bahan kimia yang
berbahaya sehingga muncullah penyakit-penyakit yang tidak ada pada
sebelumnya. Maka di buatlah imunisasi yang merupakan tindakan preventif
untuk mencegah datangnya penyakit-penyakit berbahaya tersebut.
2. Definisi Imunisasi
Di sebutkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke tiga halaman : 428, lafadznya :
“Imun a Dok kebal thd suatu penyakit: kalau sudah di suntik TCD, orang akan—thd penyakit tipus, kolera , dan disentri;
Pengimunan n proses, cara, perbuatan menjadikan kebal thd penyakit;
Keimunan n keadaan imun; keadaan kebal thd penyakit
Imunisasi
n Doc pengimunan; pengebalan (thd penyakit): pemerintah memberikan
suntikan TCD kepada murid SD dl rangka—thd penyakit tipus, kolera, dan
disentri
Imunitas
n 1 keimunan; kekebalan; 2 Tan keadaan tumbuhan inang yg bebas dr
serangan dan kerusakan yg di sebabkan oleh penyakit (parasit)”
Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa bahwa imunisasi adalah tindakan pengebalan tubuh dari berbagai penyakit
3. Macam-macam imunisasi
Secara garis besarnya imunisasi terbagi menjadi dua :
A. Imunisasi AktifImunisasi aktif adalah kekebalan tubuh yang didapat seseorang karena tubuh yang secara aktif membentuk zat anti bodi.
1. Imunisasi aktif alamiah
Adalah kekebalan tubuh yang secara otomatis diperoleh setelah sembuh dari suatu penyakit.
2. Imunisasi aktif buatan
Adalah kekebalan tubuh yang didapat dari vaksinasi yang diberikan untuk mendapatkan perlindungan dari suatu penyakit
B. Imunisasi Pasif
Imunisasi Pasif adalah kekebalan tubuh yang bisa diperoleh seseorang yang zat kekebalan tubuhnya didapatkan dari luar.
1. Imunisasi pasif alamiah
Adalah antibody yang didapat seseorang karena diturunkan oleh ibu yang merupakan orang tua kandung langsung ketika berada dalam kandungan.
2. Imunisasi pasif buatan
Adalah kekebalan tubuh yang diperoleh karena suntikan serum untuk mencegah penyakit tertentu. (http://colostrum.naikdaun.com/2010/07/jenis-dan-macammacam-imunisasi-kekebalan-tubuh-anti-bodi-ilmu-sains-biologi/)
Namun yang menjadi sorotan kita kali ini adalah macam imunisasi yang di peroleh dengan vaksinasi (Imunisasi aktif buatan), dan kalangan ahli gizi & anak menyebutkan imunisasi yang vital, yaitu :
1. BCG
- Perlindungan Penyakit : TBC / Tuberkolosis
- Penyebab : Bakteri Bacillus Calmette Guerrin
- Kandungan : Bacillus Calmette-Guerrin yang dilemahkan
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 2 bulan
2. DPT/DT
- Perlindungan Penyakit : Difteri (infeksi tenggorokan), Pertusis (batuk rejan) dan Tetanus (kaku rahang).
- Penyebab : Bakteri difteri, pertusis dan tetanus
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 3 bulan
II. Umur / usia 4 bulan
III. Umur / usia 5 bulan
IV. Umur / usia 1 tahun 6 bulan
V. Umur / usia 5 tahun
VI. Umur / usia 10 tahun
3. Polio
- Perlindungan Penyakit : Poliomielitis / Polio (lumpuh layuh) yang menyababkan nyeri otot, lumpuh dan kematian.
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 3 bulan
II. Umur / usia 4 bulan
III. Umur / usia 5 bulan
IV. Umur / usia 1 tahun 6 bulan
V. Umur / usia 5 tahun
4. Campak / Measles
- Perlindungan Penyakit : Campak / Tampek
- Efek samping yang mungkin : Demam, ruam kulit, diare
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 9 bulan atau lebih
II. Umur / usia 5-7 tahun
5. Hepatitis B
- Perlindungan Penyakit : Infeksi Hati / Kanker Hati mematikan
- Waktu Pemberian :
I. Ketika baru lahir atau tidak lama setelahnya
II. Tergantung situasi dan kondisi I
III. Tergantung situasi dan kondisi II
IV. Tergantung situasi dan kondisi III
B. Jenis / Macam Imunisasi Vaksin Yang Dianjurkan Pada Anak :
1. MMR
- Perlindungan Penyakit : Campak, gondongan dan campak Jerman
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 1 tahun 3 bulan
II. Umur / usia 4-6 tahun
2. Hepatitis A
- Perlindungan Penyakit : Hepatitis A (Penyakit Hati)
- Penyebab : Virus hepatitis A
- Waktu Pemberian :
I. Tergantung situasi dan kondisi I
II. Tergantung situasi dan kondisi II
3. Typhoid & parathypoid
- Perlindungan Penyakit : Demam Typhoid
- Penyebab : Bakteri Salmonela thypi
- Waktu Pemberian :
I. Tergantung situasi dan kondisi
4. Varisella (Cacar Air)
- Perlindungan Penyakit : Cacar Air
- Penyebab : Virus varicella-zoster
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 10 s/d 12 tahun 1 kali dan di atas 13 tahun 2 kali dengan selang waktu 4 s/d 8 minggu. (http://organisasi.org/jenis-macam-vaksin-imunisasi-untuk-anak-informasi-imunisasi-lengkap-wajib-penangkal-penyakit)
4. Hukum asal imunisasi
Setelah
kita ketahui ma’na imunisasi secara umum, maka tidak diragukan lagi
bahwa hukum asal imunisasi adalah boleh dan tidak terlarang, karena
imunisasi termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi .
Rosululloh n Bersabda :
من تصبح كل يوم سبع تمرات عجوة لم يضره في ذلك اليوم سم ولاسحر
“Barangsiapa
yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari
itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).
Berkata Syaikh bin Baz : “tidak
masalah untuk menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah
yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits shahih, artinya : “Barangsiapa makan tujuh butir
kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir
atau racun”. Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum
terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan
dilakukan pengebalan (imunisasi) untuk melawan penyakit yang muncul di
suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal
itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang
diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.
(majmu’ fatawa wal maqolat syaikh ibnu Baz 6/26)
Berkata
Ibnul Arobi as-Salafi al-Maliki : menurutku bila sorang mengetahui
sebab penyakit dan khawatir olehnya, maka boleh baginya membendungnya
dengan obat.” (al-Qobas : 3/1129)
5. Praktek imunisasi Modern
Sebagaimana yang telah kami sebutkan pada muqoddimah
bahwa ini termasuk dampak dari di pegangnya ilmu kedokteran oleh-orang
barat yang notabenenya orang-orang kafir yang bukan hanya jahil terhadap
halal-harom akan tetapi bahkan memusuhi dan melecehkan islam itu
sendiri, dan saya mendapati permasalahan ini sering di jadikan senjata untuk menggugat keabsahan hukum imunisasi
Permasalahan
yang kami maksudkan adalah dalam imunisasi yang di kenal ahli medis
saat ini ada dua masalah yang membuat kening berkerut, yang pertama
pemberian vaksin kedalam tubuh, yang kedua bahan yang di gunakan dalam
vaksinasi tersebut
a. Vaksinasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), vaksin diartikan dengan bibit penyakit yang sudah di lemahkan, sedang vaksinasi adalah penanaman bibit penyakit yang sudah di lemahkan kedalam tubuh manusia atau binatang (dengan cara menggoreskan atau menusukkan jarum) agar orang atau binatang itu menjadi kebal terhadap penyakit tersebut. (KBBI edisi : 3 hal : 1258).
Oleh karena itu kaidah inti dari imunisasi adalah “ memasukkan bibit penyakit yang telah dilemahkan kepada manusia akan menghasilkan pelindung berupa anti bodi tertentu untuk menahan serangan penyakit yang lebih besar”
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), vaksin diartikan dengan bibit penyakit yang sudah di lemahkan, sedang vaksinasi adalah penanaman bibit penyakit yang sudah di lemahkan kedalam tubuh manusia atau binatang (dengan cara menggoreskan atau menusukkan jarum) agar orang atau binatang itu menjadi kebal terhadap penyakit tersebut. (KBBI edisi : 3 hal : 1258).
Oleh karena itu kaidah inti dari imunisasi adalah “ memasukkan bibit penyakit yang telah dilemahkan kepada manusia akan menghasilkan pelindung berupa anti bodi tertentu untuk menahan serangan penyakit yang lebih besar”
b. Bahan- bahan dalam pembuatan vaksin
telah tersebar beberapa informasi tentang bahan pembuatan vaksin terutama dalam dunia maya (internet) bahwa bahan-bahan tersebut kebanyakannya terbuat dari benda –benda yang harom. Berikut sedikit kami nukilkan diantaranya :
Berkata Rini Puspitasari selaku staff of KKIA Departement FULDFK 2009/2010
telah tersebar beberapa informasi tentang bahan pembuatan vaksin terutama dalam dunia maya (internet) bahwa bahan-bahan tersebut kebanyakannya terbuat dari benda –benda yang harom. Berikut sedikit kami nukilkan diantaranya :
Berkata Rini Puspitasari selaku staff of KKIA Departement FULDFK 2009/2010
“Penggunaan
janin bayi yang sengaja digugurkan ini bukan merupakan suatu hal yang
dirahasiakan publik. Sel line janin yang biasa digunakan untuk keperluan
vaksin biasanya diambil dari bagian tubuh seperti paru-paru, kulit,
otot, ginjal, hati, kelenjar tiroid, timus, dan hepar yang diperoleh
dari aborsi janin”. Lalu beliau melanjutkan
“Disamping itu, vaksin dalam proses pembuatannya juga ada yang menggunakan enzim babi. Vaksin yang terbuat dari babi yaitu vaksin polio. Seorang pakar dari Amerika mengatakan bahwa vaksin polio dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda, dan ekstrak mentah lambung babi” [4]
“Disamping itu, vaksin dalam proses pembuatannya juga ada yang menggunakan enzim babi. Vaksin yang terbuat dari babi yaitu vaksin polio. Seorang pakar dari Amerika mengatakan bahwa vaksin polio dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda, dan ekstrak mentah lambung babi” [4]
(lihat :http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=197538990489&topic=12546.) Demikianlah kami nukilkan tanpa ada sedikit perubahan, dan kita serahkan kepada Alloh atas kebenarannya
6. Beberapa argument / alasan bagi orang yang kontra dan anti dengan imunisasi
Melihat
penjelasan secara global hakekat imunisasi modern maka banyak timbul
permasalahan hukumnya secara syariat dari beberapa kalangan baik dari
ahli medis(notabenenya para herbalis) itu sendiri atau dari ahli
keagamaan. Diantara mereka dengan menulis artikel atau buku untuk
mengkampanyekan haramnya imunisasi dan yang paling ringan diantara
mereka hanya bersikap menahan imunisasi tanpa adanya seruan status
hukumnya. Di bawah ini saya sebutkan diantara argumen atas haramnya
imuniasi di beberapa diskusi kami di ma’had kami dengan beberapa ikhwan
dan sebagian asatidz juga dari beberapa artikel mereka yang saya ambil
dari internet[5]
a. Imunisasi terbuat dari bahan-bahan yang harom
b. Sistem vaksin membahayakan
c. Banyak kesaksian atas gagalnya imunisasi
d. Imunisasi adalah program KB terselubung yang bertujuan untuk memandulkan anak
e. Imunisasi bukanlah suatu yang dhorurot sehingga tidak bisa melegalkan yang harom
f. Imunisasi tidak penting bagi anak
Demikian sebagian alasan dan hujjah
bagi orang-orang ayang meniadakan imunisasi. Lalu bagaimanakah
sebenarnya hakekat imunisasi tersebut? Sejauh mana bahaya imunisasi dan
manfaatnya? Dan bagaimanakah sikap seorang muslim menghadapi problematik
seperti ini
7. Perantara menuju jawaban
Sebelum
kita masuk permasalahan inti sekaligus jawaban dari hukum imunisasi ada
beberapa permasalahan yang harus kita pahami terlebih dahulu
1. Hukum berobat dengan hal yang di haromkan
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :
a. Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan hadits Thoriq bin Suwaid a, sesungguhnya ia bertanya kepada Rosululloh tentang khomr, maka Rosululloh n melarang untuk membuatnya, lalu ia berkata lagi : sesungguhnya aku membuatnya hanya untuk di jadikan obat, maka Rosululloh bersabda :
إنه ليس بدواء ولكنه داء
“Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)
Berkata Imam an-Nawawi dalam syarah shohih muslim (13/153) : “Hadist ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang haramnya khomr dijadikan sebagai obat”
Berkata Syaikh Abu Malik dalam shohih fiqh sunnah (2/391) : “maka masuk akalkah ada dokter muslim yang mengetahui syariat islam mensifati khomr sebagai obat, padahal rosululloh mensifatinya sebagai penyakit”
Berkata Imam an-Nawawi dalam syarah shohih muslim (13/153) : “Hadist ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang haramnya khomr dijadikan sebagai obat”
Berkata Syaikh Abu Malik dalam shohih fiqh sunnah (2/391) : “maka masuk akalkah ada dokter muslim yang mengetahui syariat islam mensifati khomr sebagai obat, padahal rosululloh mensifatinya sebagai penyakit”
b. Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :
Pendapat yang Pertama : Boleh dalam kondisi darurat.
Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm. (lihat pemaparan khilaf dalam majmu’ syarh muhadzab, karya imam an-nawawi : 9/50).
Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :
Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm. (lihat pemaparan khilaf dalam majmu’ syarh muhadzab, karya imam an-nawawi : 9/50).
Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :
وَمَا
لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ
رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ (١١٩)
Artinya
: “mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah
telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali
apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari
manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu
mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas”.
Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit (HR muslim 15/(2076, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya (Shohih Fihq Sunnah 2/203).
Kedua: Tidak boleh secara mutlak.
Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah (lihat al-Mughni karya ibnu Qudamah 8/605).
Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :
Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah (lihat al-Mughni karya ibnu Qudamah 8/605).
Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :
إن الله أنزل الداء والدواء، وجعل لكل داء دواء، فتداووا ولا تداووا بحرام
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (HR. Abu Dawud 3874, & di shohihkan syaikh al-albani dalam asshohihah 4/174)
Alasan
lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan
karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.
Pendapat
yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram
kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah. (lihat penjelasan lengkap masalah ini dalam kitab Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki hal : 187)
2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah. (lihat penjelasan lengkap masalah ini dalam kitab Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki hal : 187)
2. Memahami ma’na dhorurot
Berkata syaikh Muhammmad bin Husain al-Jaizani : Yang di makud dhorurat (darurat) menurut ahli fiqh & ushul adalah kebutuhan mendesak untuk menerjang syariat, terkandung daam definisi ini dua poin penting, yaitu :
1. Dhorurot adalah kebutuhan mendesak yang tidak ada jalan keluarnya
2. Dhorurot adalah udzur yang dianggap oleh syariat & salah satu sebab keringanan yang benar, yang mengharuskan menyelisihi hukum syar’i (Haqiqoh dhoruroh syar’iyyah, hal : 8)
1. Dhorurot adalah kebutuhan mendesak yang tidak ada jalan keluarnya
2. Dhorurot adalah udzur yang dianggap oleh syariat & salah satu sebab keringanan yang benar, yang mengharuskan menyelisihi hukum syar’i (Haqiqoh dhoruroh syar’iyyah, hal : 8)
Jadi
hakekat dhorurot adalah ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila
dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau
mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya.
Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:
الضرورة تبيح المحظورة
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Akan tetapi dhorurot ini memiliki syarat & dhowabit (kaidah), yaitu ada 4 :
1. Tegaknya kemadhorotan baik yakin atau persangkaan kuat
2. Adanya udzur (yaitu tidak bisa sama sekali dengan sarana yang halal)
3. Menggunakan sebatas dhorurot tersebut
4. Pandangan ke depan, di mana tidak ada bahaya yang mengancamnya
(Haqiqoh dhoruroh syar’iyyah hal : 14)
1. Tegaknya kemadhorotan baik yakin atau persangkaan kuat
2. Adanya udzur (yaitu tidak bisa sama sekali dengan sarana yang halal)
3. Menggunakan sebatas dhorurot tersebut
4. Pandangan ke depan, di mana tidak ada bahaya yang mengancamnya
(Haqiqoh dhoruroh syar’iyyah hal : 14)
Berkata
al-Izzu bin Abdussalam : “Seandainya seorang terdesak untuk makan
barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota
badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”[Qowa’idu
Ahkam hal : 141]
3. Masalah Istihalah
Istihalah
adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain
yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, babi
menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya (Hasyiah ibnu Abidin : 1/210)
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama.
1. Pendapat yang pertama, Istihalah dapat mensucikan benda najis
ini adalah pendapat hanafiyah, dhohiriyah, salah satu pendapat malikiyyah dan hanabilah, Syaikhul Islam, Ibnul qoyyim, Assyaukani dan lain-lain
2. Pendapat yang kedua, Istihalah tidak dapat mensucikan benda najis
ini adalah pendapat syafi’iyyah, hanabilah, sebagian madzhab malikiyyah & di ikuti abu yusuf (murid abu Hanifiyyah)
di antara Hujjah mereka adalah : bahwasana benda najis tidak akan bisa suci dengan cara apapun seperti darah menjadi nanah juga di kuatkan bahwa benda najis yang proses istihalahnya dengan di bakar maka ia bagian dari najis tersebut & di ikutkan kenajisannya sebagai sikap kehati-hatian (Wallohu a’lam sebatas pencarian kami dalil mereka hanya sebatas nadhori (logika), berkata syaikhul islam : tidak ada mereka baik al-quran, sunnah, ijma’ maupun qiyas)
1. Pendapat yang pertama, Istihalah dapat mensucikan benda najis
ini adalah pendapat hanafiyah, dhohiriyah, salah satu pendapat malikiyyah dan hanabilah, Syaikhul Islam, Ibnul qoyyim, Assyaukani dan lain-lain
2. Pendapat yang kedua, Istihalah tidak dapat mensucikan benda najis
ini adalah pendapat syafi’iyyah, hanabilah, sebagian madzhab malikiyyah & di ikuti abu yusuf (murid abu Hanifiyyah)
di antara Hujjah mereka adalah : bahwasana benda najis tidak akan bisa suci dengan cara apapun seperti darah menjadi nanah juga di kuatkan bahwa benda najis yang proses istihalahnya dengan di bakar maka ia bagian dari najis tersebut & di ikutkan kenajisannya sebagai sikap kehati-hatian (Wallohu a’lam sebatas pencarian kami dalil mereka hanya sebatas nadhori (logika), berkata syaikhul islam : tidak ada mereka baik al-quran, sunnah, ijma’ maupun qiyas)
hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :
a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khomr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci (al-Muhalla 1/117 – 7/433)
b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi :
إذا دبغ الإهاب فقد طهور
“ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)
c.Benda-benda
baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan
halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.
Pendapat ini di bela mati-matian oleh syaikhul islam (majmu’ fatawa & lihat argumentasi beliau secara naql & aql dalam kitab tersebut 21/481-504)
Alangkah
bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila
berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan
apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci
bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa
berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran
dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi,
yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil
benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada,
padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya. (I’lamul Muwwaqq’in
1/394)
4. Masalah Istihlak
Maksud
Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan
benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan
sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
Apakah
benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi
suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan sabda Rosululloh :
الماء طهور لا ينجسه شئ
“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (HR. Ahmad 3/31, Abu Dawud 66, Tirmidzi 1/95 & di shohihkan syaikh albani dalam irwaul gholil 1/45)
dan sabda beliau :
إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث
“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.”
(HR. Abu dawud 56 & di shohihkan syaikh albani dalam irwaul gholil 23).
(HR. Abu dawud 56 & di shohihkan syaikh albani dalam irwaul gholil 23).
Dua
hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila
bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak
menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang
disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas
baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan
tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”[Majmu’ Fatawa : 21/508]
Oleh
karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur
dengan air yang banyak sehingga sifat khomr-nya hilang maka dia tidak
dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum
ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga
sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak
persusuannya.”[al-Fatawa al—Kubro 1/423]
8. Tarjih & analisa
Dari keterangan di atas kita katakan pada masalah imunisasi :
1. Anggapan imunisasi tidak penting bagi anak bahkan banyak kejadian gagal, dan sistem vaksinasi yang sangat BERBAHAYA.
Untuk menjawab anggapan ini kami nukilkan keterangan Dr. Arief [6]yang kami anggap tsiqoh
(terpercaya) dalam masalam ini, beliau berkata dalam situsnya
www.drarief.com, setelah memaparkan anggapan-anggapan negatif seputar
imunisasi : ” Isu-isu di atas adalah TIDAK BENAR. Saat
ini informasi bisa kita dapatkan dengan mudah dengan cara apapun. Kita
bisa mengetahui dari belahan dunia manapun dengan mudah dan cepat. Kita
bisa menyaksikan bagaimana dunia berlomba-lomba meningkatkan kecanggihan
vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak, dengan mengurangi efek
samping hingga seminimal mungkin. Sekarang kita juga bisa membuktikan
bahwa para ahli di seluruh dunia sepakat bahwa imunisasi adalah penting.
Bagi
beberapa orang yang termakan isu-isu di atas, silakan Anda cari
informasi terkini yang berkenaan dengan imunisasi tersebut. Insya Allah
Anda akan menemukan 100% informasi – yang ilmiah tentunya, bukan sekedar
asal ngomong belaka – yang akan mendukung dan menguatkan dasar
pentingnya dilakukan imunisasi.
“Toh
anak saya juga sehat nggak pakai imunisasi…” nah lho? Memang benar ada
kemungkinan anak Anda tetap sehat tanpa imunisasi. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh dr. Adi di atas tadi, imunisasi bertujuan untuk
memproteksi bukan 100%, terhadap penyakit. Ini artinya, bila sang
anak yang sehat tanpa imunisasi tadi tidak tertular oleh penyakit yang
dia tidak memiliki daya tahan terhadapnya maka kita sebut saja dia
“beruntung”. Contohnya penyakit tuberculosis (TBC) yang dinyatakan
secara statistik (dihitung orang per orang di setiap negara) bahwa
Indonesia salah satu yang menduduki peringkat tertinggi di dunia. Apakah
Anda tega membiarkan sang anak tanpa perlindungan dan hanya berbekal
“semoga beruntung” saja?
Anak
yang sudah diimunisasi dengan baik masih mungkin tertular penyakit
tersebut. Namun, dibandingkan dengan yang tidak diimunisasi, tingkat
sakitnya akan jauh berbeda.
Sebagai
permisalan, pada saat turun hujan; anak yang diimunisasi adalah ibarat
anak yang memakai jas hujan dan yang tidak diimunisasi adalah ibarat
anak yang tidak memakai jas hujan. Apakah mungkin yang memakai jas hujan
masih basah ? Mungkin saja! Tapi coba bandingkan dengan yang tidak
pakai jas hujan. Tentu derajat “basahnya” tidak akan sama…
Nah khusus untuk poin isu ke-2 (sistem vaksinasi) di atas yang – mungkin – diyakini kebenarannya oleh beberapa orang, saya punya penjelasan sedikit ..Imunisasi memang benar
berarti memasukkan penyakit ke dalam tubuh anak….. tapi tunggu dulu,
bukan sembarang penyakit yang dimasukkan ke dalam tubuh sang anak
tersayang.Vaksin penyakit yang dimasukkan kedalam tubuh anak pada
imunisasi khusus untuk penyakit-penyakit yang terpilih yang berpotensi
menimbulkan akibat yang fatal atau cacat yang permanen pada masa
depannya. Vaksin tersebut adalah penyakit yang telah dilemahkan di
laboratorium dan telah teruji secara klinis, sehingga yang didapatkan
oleh sang anak adalah kekebalan terhadap penyakit tersebut dalam wujud
sebenarnya – yang tidak dilemahkan.
Tubuh
manusia memiliki suatu mekanisme untuk belajar mengatasi rangsangan
dari luar. Ini adalah suatu karunia yang sangat besar yang diberikan
Allah SWT kepada manusia. Rangsangan ini bisa berwujud perubahan cuaca
dari panas ke dingin (atau sebaliknya), kontak dengan bakteri dan virus
yang ada di udara bebas, kontak dengan alergen; atau singkatnya : kontak
dengan dunia luar. Anak yang sehat memiliki kemampuan untuk mempelajari
dan membuat kesimpulan tentang apa yang dipelajarinya. Ini juga terjadi
pada sistem imun (kekebalan) tubuhnya. Proses belajar pada kekebalan
tubuhnya akan langsung terjadi sesaat setelah seseorang bersinggungan
dengan penyakit (misalnya dari orang lain). Kekebalan akan didapatkan
sebagai hasil akhir / kesimpulan dari proses belajar tersebut – dengan
catatan – bila status gizi pada tubuhnya baik. Mungkin ia akan mengalami
sakit dahulu, namun tubuhnya akan terus mempelajari dan membuat
kesimpulan terhadap penyakit tersebut.
Kekebalan
dapat diperoleh dengan 2 cara, yaitu kekebalan aktif dan kekebalan
pasif. Bedanya, yang satu didapatkan setelah seseorang sembuh dari suatu
penyakit, dan yang lainnya didapatkan melalui vaksin penyakit tersebut.
Sebagai
contoh : Seseorang bernama A terkena penyakit – sebut saja – penyakit
“X”. Setelah sembuh, si A tadi akan memiliki kekebalan terhadap penyakit
“X” tersebut. Pada kasus lain, seseorang lainnya bernama B mendapatkan
vaksinasi penyakit “X”, dan dia mendapatkan kekebalan terhadap penyakit
“X” tersebut. Menurut Anda, mana yang lebih bagus ? si A atau si B ?
Anda menjawab “Tentu saja si A !”. Benarkah ?…..
Mungkin
jawaban di atas benar, bila penyakit “X” yang dimaksud adalah penyakit
yang sederhana, seperti flu biasa. Yang jadi masalah adalah : bagaimana
bila penyakit “X” yang dimaksud adalah suatu penyakit yang fatal dan
berpotensi untuk meninggalkan kecacatan??? Misalnya penyakit “X”
tersebut adalah Polio, si A yang mendapat kekebalan setelah sembuh dari
sakitnya belum tentu bisa berjalan dengan baik, bahkan mungkin ia tidak
dapat berjalan lagi; sementara si B – yang mendapatkan vaksinasi polio –
juga mendapatkan kekebalan terhadap penyakitnya, tetapi tanpa harus
mengalami sakit terlebih dahulu…. Apa artinya seseorang memperoleh
kekebalan setelah sembuh dari sakitnya, tapi ia kini juga memperoleh
kecacatan (buta, lumpuh, dll) ? Tentu tidak banyak artinya. Apalagi pada
konteks anak, masa depannya masih sangat-sangat-amat panjang sekali”( http://www.drarief.com/fatwa-ulama-tentang-imunisasi/) –di nukil dengan sedikit perubahan-
2. Bahan-bahan imunisasi yang haram.
Pertama kami
: katakan bahwa memang dari imunisasi ada bahan-bahan yang harom
semisal enzim babi dll ( bedasarkan banyaknya keterangan ahli medis)
namun ada yang menurut saya berlebih-lebihan ketika menyebutkan
bahan-bahan vaksin yang menyeramkan & menjijikkan (seperti : sel
kanker manusia, bayi kuda, ekstrak mentah lambung babi, nanah dll) dan
efek samping, seperti yang mereka sebutkan “VAKSINASI SEBAB TERBESAR
MATI MENDADAK’, “IMUNISASI = IQ RENDAH” DLL yang kebanyakan hanya
menukil tanpa menyebukan buku referensi kedokteran yang autentik, oleh
karena itu dr. Arief mengatakan ketika di tanya masalah tersebut dalam
situsnya tersebut “Saya mengutip ucapan beberapa ustadz terkait hal ini,
kejelasan kandungan yang berasal dari bahan yang haram juga tidak
ditunjang dengan data yang pasti. Referensi syariah saya dalam hal ini
adalah ustadz Abu Zubair Hawaary, dan ustadz Sufyan Baswedan, keduanya adalah alumni Madinah, insya Allah bisa dipegang fatwanya”.
Yang kedua : kalau memang kenyataannya seperti itu maka kami katakan : bukankah kita telah bahas pada bab yang lalu tentang masalah istihalah bahwa yang rojih adalah bisa mensucikan, dan proses pembuatan imunisasi sebagaimana keterangan-keterangan ahli medis (terutam anggota LPPOM)[7] 100% sudah bersih dari bahan-bahan harom tersebut[8]. Berikut kami nukilkan mereka dalam masalah vaksin meningitis
Berkata
Dr H Achmad Sanusi, SpPD, ketua MPKS dalam acara press briefing tentang
persiapan WHA dan vaksin meningitis di gedung Kemenkes, Jakarta, Jumat
(14/5/2010) : "Kami mengkaji sistem ilmiahnya tentang bagaimana proses
dari awal hingga didapatkan produk akhir, untuk vaksin meningitis ini
yang diambil hanya polisakarida”. Beliau juga mengatakan “Bahan yang
digunakan untuk membuat vaksin adalah polisakarida. Berdasarkan kajian
yang kami lakukan, didapati bahwa hasil akhir yang berupa polisakarida
tersebut tidak mengandung apa-apa”.
Juga apa yang di ungkapkan salah satu anggota LPPOM."Memang benar dalam proses produksinya vaksin meningitis bersentuhan dengan babi. Tapi vaksinnya sudah tidak mengandung babi lagi karena dilakukan proses ultrafiltrasi." (http://www.detikhealth.com/read/2010/05/14/134221/1356995/763/bahan-akhir-vaksin-meningitis-bebas-kandungan-babi?ld991107763)
3. Manfaat dan bahaya imunisasi
Sebenarnya
poin ini sudah di jelaskan di depan dari keterangan dr. Arief, namun
perlu kami tambahkan bahwa manfaat imunisasi itu suatu yang tidak samar
karena itu adalah tujuan dari di buatnya imunisasi adapun efek samping
darinya maka seharusnya kita beri arahan dan motivasi kepada para dokter
untuk meningkatkan kwalitas dan meminimalkan efek sampingnya, bukan
malah membuat putus asa mereka dengan langsung vonis yang buruk. Dan
sesungguhnya kejadian atas gagalnya imunisasi terhadap beberapa orang
tidaklah mengubah status hukumnya, itu seperti beberapa obat atau
tindakan medis (seperti operasi, kemoterapi dll) yang pernah mengalami
kegagalan. Lantas apakah kita mengatakan tindakan-tindakan medis
tersebut haram semuanya?!
9. Fatwa para ulama’ tentang imunisasi.
Sebagai pelengkap pembahasan ini kami nukilkan fatwa para ulama’
1. Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal Buhuts
Dalam
ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis
mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan
syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis
menetapkan :
1)
Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu
melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah.
Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang.
Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya
boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar.
Sesungguhnya pintu fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis-
kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apalagi terbukti
bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak benda-benda
lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat
atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara
yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah
menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.
2)
Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin
markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah
(berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa
maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan
dengan dalil-dalil yang jelas.[ Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.]
2. Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :
1).
Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal
dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah
haram.
2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.[ Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.]
2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.[ Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.]
10. kesimpulan dan penutup
Setelah
keterangan di atas, maka kami memandang bolehnya imunisasi dengan
kriteria-kriteria di atas atau yang semisalnya, sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya jenis imunisasi yang di sepakati bahayanya yang
memunculkan hukum baru
Kami menyimpulkan juga dari beberapa diskusi ilmiyyah yang menjadi titik dasar perselisihan adalah ADA BAHAN HARAMNYA
dan telah berlalu penjelasannya pada bab istihalah bahwa yag rojih
adalah bisa mensucikan demikian juga masalah istihlak, oleh karena itu
ketika MUI memfatwakan bolehnya imunisasi jenis IPV adalah karena alasan
darurat, karena memang pendapat MUI dalam hal ini adalah syafi’iyyah
yang meniadakan pengaruh istihalah ataupun istihlak[9]
Adapun
manfaat dan madhorot yang di timbulkannya kami memandang seperti
umumnya obat-obat kimia yang memilikiki beberapa efek samping akan
tetapi dengan adanya rekomendasi para dokter –insyaalloh- manfaatnya
lebih besar dari pada bahayanya
Kemudian
kita juga katakan bahwa asal imunisasi adalah boleh sedangkan bahaya
yang di hasilkannya minimalnya masih tanda tanya dalam artian meragukan.
Dan dalam kaidah fiqhiyyah di katakan :
اليقين لا يزول بالشك
“Suatu yang yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang meragukan”
Meskipun
walohu a’lam kecenderungan hati kami bahwa imunisasi bukanlah suatu
yang darurat karena kami tidak dapati pengaruh imunisasi seperti
definisi darurat yang di terangkan ulama’ lebih-lebih kalau kita mau
menerapkan “back to nature” kembali kepada yang alami & juga
memakai tibbun nabawi yang telah teruji secara medis memiliki kandungan
imun yang sangat besar[10]
Dan
tulisan ini juga bukan ajakan wajib imunisasi. Akan tetapi seperti
inilah tindakan obyektif dalam hukum islam, adapun setiap pribadi maka
silahkan memakainya jika di pandang imunisasi sangatlah urgen dan
bagi yang lebih percaya pada thibbun nabawi silahkan meninggalkannya dan
berusaha kembali ke hidup sehat ala rosul, akan tetapi kami ingatkan
agar selalu menyandarkan semuanya kepada Allah dan kita tidak boleh
sombong dengan sebab yang kita upayakan dalam menjaga kesehatan
anak-anak kita -baik dengan cara imunisasi ataupun thibbun nabawi-
Bagi
yang mengimunisasi, kemudian anaknya terkena penyakit yang
dikhawatirkan, maka ia tidak akan menyalahkan vaksin itu sendiri,
“Kenapa kok masih sakit padahal sudah di imunisasi” Karena memang sudah
dijelaskan bahwa vaksin tidak memastikan bebas dari penyakit tersebut
dan kita berusaha bersabar menerima takdir yang Allah tetapkan.
Begitupun
kepada yang tidak mengimunisasi anaknya dan memilih thibbun nabawi,
maka ketika anaknya terkena penyakit yang dikhawatirkan, maka tidak
boleh menyalahkan thibbun nabawi tersebut sehingga mengurangi rasa
cintanya pada thibbun nabawi dan kemudian menyalahkan diri dan
menyesali, “kalau seandainya dulu pake vaksin”.
Karena kembali lagi, semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah dan kita berusaha bersabar dan menerimanya.
Karena kembali lagi, semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah dan kita berusaha bersabar dan menerimanya.
Dan untuk kedua belah pihak, kalau seandainya anak saudaranya terkena penyakit yang dikhawatirkan, jangan bersikap sombong terhadap saudaranya, “Makanya, harusnya dulu diimunisasi.” atau ternyata yang terkena adalah anak yang diimunisasi, maka yang tidak mengimunisasi juga jangan sombong, sehingga kemudian masing-masing pihak lupa berdoa kepada Allah bahwa semua itu -kesehatan dan musibah yg tidak terkena padanya- adalah semata-mata keutamaan dari Allah dan hendaklah kita selalu memanjatkan doa kepada Alloh
الحمد لله اللذي فضلني على كثير من الناس
“Segala puji bagi Allah yg telah memberi keutamaan kepadaku atas banyak orang.”
Dan akhirnya ini yang bisa kami uraikan seputar imunisasi sejauh tashowwur
kami dari beberapa referensi karena keterbatasan referensi kami, dan
kami sangat mengharapkan masukan dari saudara semua baik dari pemuka
agama atau dari kalangan ahli medis. Dan apa yang ada dalam tulisan ini
jika ada benarnya maka semata-mata dari Alloh dan jika ada kesalahan
maka itu dari kami dan syaithon dan alloh dan rosulnya berlepas diri
darinya.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى اله وصحبه وسلم. واخر دعوانا ان الحمد لله رب العالمين
[1] Tulisan
ini banyak mengambil faidah dari tulisan ustadzuna Abu Ubaidah dalam
majalah al-furqon edisi 5 tahun 8 pada rubrik fiqh nawazil dengan judul
“kontroversi hukum imunisasi polio” dan kitab “ahkamul adwiyah fis-Syariatil Islamiyah” karya Dr. Hasan bin Ahmad al-Fakki
[2] Sebagaimana pemaparan Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal Buhuts. Akan datang keterangannya pada bab 9. fatwa para ulama tentang imunisasi
[3] Lihat himbauan ini dalam artikel kontroversi hukum imunisasi polio yang di tulis ustadzuna Abu Ubaidah
[4] Dan
banyak lagi sebenarnya klaim-klaim mereka atas bahan imunisasi yang
tersebar di dunia maya, diantaranya ginjal monyet dan anjing, embrio
anak ayam, darah babi atau kuda dan nanah cacar sapi dan lain-lain yang
mungkin lebih mengerikan lagi. Wallohu a’lam
[5]
Di antara yang sangat keras menolak imunisasi adalah apa yang d
sebutkan dalam majalah nikah volume 6 no.2 mei 2007 dengan membawakan
hujjah-hujjah, diantaranya system vaksin yang menipu & beberapa data
atas kegagalan imunisasi. Wallohu a’lam
[6]
Beliau adalah dokter umun yang berdomisili di kota solo & banyak
mengenal ustadz-ustadz salaf (lihat dalam situsnya & coment yang di
bawahnya www.drarief.com
[7]
Adalah singkatan dari lembaga pengkajian obat dan kosmetika, suatu
lembaga yang di bentuk oleh MUI dengan tugas mengaudit perusahaan yang
menghendaki mendapat sertifikat halal dari MUI
[8] Syaikhuna
Ust. Ahmad Sabiq sering menyampaikan kepada kami akan konsultasi beliau
kepada beberapa dokter & mahasiswa kedokteran jurusan farmasi
tersebut tentang proses pembuatan vaksin dan mereka mengatakan bahwa
proses akhir pembuatan vaksin bebas dari bahan harom
[9] Hal
ini sama seperti masalah yang sempat geger yaitu masalah produk pelezat
ajinomoto yang di informasikan ada kandungan lemak babinya. Kalau kita
memahami masalah istihlal maka tidaka ada masalah lagi. Wallohu a’lam
(faidah dari syaikhuna Ahmad Sabiq. Lc)
[10] Al-ustadz
DR. Arifin Badri MA memiliki buku yang sangat bagus tentang masalah
tersebut dengan judul “Imunisasi syariat” sekaligus sebagai bahan
resensi kitab di majalah kami al-furqon edisi depan insyaalloh.
0 comments:
Post a Comment